Insight-cybermedia.com, Bandung- OSIS MAN 2 Kota Bandung laksanakan kegiatan Laporan Pertanggungjawaban OSIS masa bakti 2023-2024, Sabtu (21/09/2024). Kegiatan ini sukses diselenggarakan di Aula Gedung Serbaguna MAN 2 Kota Bandung yang dibuka langsung oleh kepala sekolah dan dihadiri juga oleh wakil kepala sekolah, para guru, pembina ekstrakurikuler, serta perwakilan kelas yang merupakan KM (Ketua Murid) dan sekretaris kelas.
Kegiatan yang dimulai pukul 08.00 hingga 15.30 WIB ini bertujuan untuk membahas laporan pertanggungjawaban kegiatan OSIS selama satu tahun kepengurusan, serta pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) terkait kualifikasi ketua OSIS baru masa bakti 2024-2025.
Suherman, selaku Pembina OSIS, menuturkan bahwa kegiatan ini telah dipersiapkan sedetail mungkin lebih dari satu bulan lalu.
"Persiapannya dilakukan sebulan lebih karena kita harus mempersiapkan 12 draft sekbid selama satu tahun kepengurusan, seperti apa saja program kerja yang terealisasi pada bidang ketakwaan atau apa saja yang tidak terealisasinya, dan itu disusun secara detail," ujarnya.
Selain itu, menurut Suherman, kegiatan seperti ini dapat menentukan kualitas pemimpin selanjutnya dan melatih jiwa kepemimpinan siswa-siswanya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Muhamad Fairuuz, Komisi C MPK MAN 2 Kota Bandung, yang mengungkapkan bahwa kegiatan ini sangat membantu dalam mengasah keterampilan kepemimpinannya.
"Saya merasa skill yang saya minati terasah secara perlahan, sehingga bisa dijadikan bekal untuk perjalanan saya ke depannya agar lebih berkembang dan tentunya membantu menambah relasi bagi saya," ucap Fairuuz.
Ia juga berharap agar kegiatan ini dapat terus berlangsung dengan baik guna mempererat rasa kekeluargaan antar siswa dan membangun generasi pemimpin yang berkualitas di lingkungan sekolah.
Reporter: Neng Fajrin Andiny/KPI5C
InsightEducation
Insight-cybermedia.com, Bandung - Majelis Taklim Konversi Diniyah (MTKD), kegiatan pengajian ini digelar di Masjid Al-Muhajirin, Komplek Bumi Adipura, Jalan Tulip, Kecamatan Gedebage, pada Selasa, (1/10/24). Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh KUA Gedebage, dan dihadiri oleh sejumlah jamaah, yang dipimpin langsung oleh Bapak Dudung Abdurahman, S.HI., selaku penyuluh di KUA Gedebage.
Dalam pengajian yang mengusung tema "Fiqih Muamalah" itu, Dudung menyampaikan materi mengenai hukum riba berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 275-278. Ia menjelaskan dengan rinci tentang keharaman riba dalam Islam, dan dampaknya terhadap perekonomian umat. Menurutnya, larangan riba dalam Al-Qur'an sangat tegas, karena riba dianggap merugikan banyak pihak dan menimbulkan ketidakadilan dalam transaksi ekonomi.
Dudung juga menyampaikan hadis dari Ibnu Mas'ud, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa riba memiliki 73 pintu, dan pintu riba yang paling ringan diibaratkan seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. Dudung menekankan bahwa jika seseorang terlanjur terlibat dalam riba, maka sebaiknya ia melunasi hutangnya terlebih dahulu.
"Jika sudah terlanjur, selesaikan dulu sampai lunas, lalu setelah itu jangan lagi terlibat riba. Jika diniatkan, insyaallah bisa dan pasti ada jalan," ucap Dudung.
Dudung menambahkan bahwa ada beberapa dampak negatif riba yang dapat dirasakan secara langsung, yaitu membuat seseorang menjadi malas, karena hutang riba dapat dengan mudah dilakukan. Dampak lain riba yaitu melahirkan permusuhan dan menghilangkan sikap tolong menolong di antara umat muslim.
Dalam wawancara terpisah, Ibu Imas, salah satu peserta Majelis Taklim Konversi Diniyah (MTKD), menjelaskan bahwa materi yang disampaikan oleh Dudung selaku pemateri sangat jelas. Menurutnya, pengajian tersebut memberikan wawasan baru mengenai hal-hal yang pernah ia lakukan di masa lalu, yang ternyata dilarang oleh agama.
"Karena ikut pengajian ini, hal-hal yang dulu saya kira boleh ternyata tidak boleh. menambah pengetahuan saya," ujar Imas.
Bu Imas menambahkan bahwa pengajian ini memiliki sistem rapor yang diberikan setelah peserta mengikuti seluruh kegiatan pengajian dan menjalani ujian selama dua semester. Rapor tersebut akan diserahkan kepada peserta setelah prosesi wisuda yang diadakan pada akhir tahun.
Secara keseluruhan, pengajian ini menjadi kegiatan rutin yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman keagamaan masyarakat di Kecamatan Gedebage, dengan peserta yang antusias mengikuti materi dan aktif dalam sesi tanya jawab mengenai isu-isu muamalah sehari-hari. Diharapkan, kegiatan ini dapat terus berlanjut dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Reporter:
Muhammad Hendri Nugraha, Mahasiswa UIN Bandung.
#InsightAgama
Narasumber dalam kajian kali ini adalah Ustaz Ahmad Gunawan. Dalam ceramahnya, Ustaz Ahmad membahas berbagai aspek fiqih yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, seperti tata cara ibadah, muamalah, dan etika sosial dalam Islam.
Ustaz Ahmad menjelaskan pentingnya pemahaman fiqih dalam menjalankan syariat Islam secara benar. Ia memberikan contoh konkret mengenai praktik-praktik ibadah dan hukum-hukum yang sering ditemui dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, Ustaz Ahmad juga mengajak para ibu pengajian untuk lebih aktif dalam bertanya dan berdiskusi mengenai isu-isu fiqih yang sering dihadapi.
Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab, di mana banyak jamaah ibu-ibu yang berpartisipasi aktif untuk mendalami topik-topik yang telah dibahas. Kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan agama, tetapi juga untuk memperkuat ikatan sosial antar warga.
KUA Panyileukan memang rutin menggelar kajian ini dengan berbagai tema mulai dari fiqih dan topik menarik lainnya, sehingga dapat terus menebarkan nilai-nilai keislaman yang bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis/Editor : Raphy Ahmad Zacky
Insight-Cybermedia.com, Bandung - The Faculty of Da'wa and Communication UIN Sunan Gunung Djati Bandung Bandung held the 30th Certification of Professional Guide Hajj and Umrah. The event was held at the Shakti Hotel, Jalan Soekarno Hatta Number 735,
Cimenerang, Gedebage, Bandung City, 15-22 of January 2024.
The certification was held in collaboration with General Directorate of Hajj and Umrah of the Indonesian Ministry of Religion, the Central Da'wah Institute of Nahdlatul Ulama, and supported by Regional Office of the Ministry of Religion of the West Java.
The number of participants was 115 from various regions in Indonesia, representatives of Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis and Parmusi.
When performing the hajj and umrah rituals, the guides often talk about personal experiences that have nothing to do with the practice of Hajj and Umrah so that the congregation does not gain knowledge as a provision for the Hajj and Umrah.
In his speech, KH Ahmad Rosyidin Mawardi, Chief Executive of the LDPBNU (Institute Da'wah of Nahdlatul Ulama) advised that this event was an important lesson for supervisors.
"This certification is a learning medium for guides so that when they perform the Hajj and Umrah rituals, they can provide knowledge to the congregation, and must be able to provide positive change to the congregation," said KH Ahmad Rosyidin Mawardi, on Tuesday (16/01/2024).
This Hajj certification is also a practical model of religious moderation because those who participate in the Hajj and Umrah guide certification have diverse social organization backgrounds.
Certification can be a medium for sharing knowledge and experience among participants. "The number of participants this time is the largest, but the certification price is relatively competitive," said KH Nurul Badrutamam, LDPBNU Secretary.
Every single event of Hajj certification is held, there are always interesting stories and experiences. Apart from that, there is also a positive impact from each certification event on Hajj and Umrah pilgrims as an effect of increasing the quality of guides.
"There is something different about each certification activity so that when the Hajj certification returns, there is something that can be conveyed to the congregation. "Not only provisions for Hajj jurisprudence, but provisions to increase discipline in carrying out duties as a guide and be more professional," said the Dean of the Faculty of Da'wah and Communication, UIN Bandung, Enjang AS.
Hajj officers and counsellors do not only provide training regarding the rituals of the Hajj and Umrah pilgrimages. However, it also provides other techniques that are useful in places of worship, both in Mecca and Medina.
The reason is that the characteristics of the congregation are diverse and the understanding or experience of the congregation is also different.
"This Hajj certification should not only fulfill obligations because you will be tired later, but because it is necessary it will be light. This certification must be able to increase the supervisors' knowledge of the terrain, culture and services to the congregation," said Ajam Mustajam, Head of the Regional Office of Ministry of Religion of the West Java.
"Futhermore, it also teaches the congregation how to use facilities and infrastructure during the Hajj and Umrah," firmed Ajam.
Dalam budaya Indonesia, terdapat tradisi yang menarik perhatian banyak orang yaitu larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa. Pernyataan ini sering kali menciptakan rasa ingin tahu, mengapa masyarakat masih memegang erat tradisi ini? Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi akar sejarah dan faktor budaya yang melatarbelakangi fenomena ini.
Tradisi larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa dapat ditelusuri kembali ke peristiwa tragis pada abad ke-14, yakni Perang Bubat. Konflik antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, yang diwarnai penolakan pernikahan Putri Dyah Pitaloka dari Sunda dengan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, menciptakan celah emosional dan dendam yang masih terasa hingga kini.
Pada abad ke-14, tepatnya tahun 1357 M, Indonesia menjadi saksi dari peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai Perang Bubat. Perang ini tidak hanya menandai konflik militer antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, tetapi juga menjadi cikal bakal terbentuknya stigma terkait larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa.
Perang Bubat bermula dari hubungan asmara antara Putri Dyah Pitaloka dari Sunda dengan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Meskipun pernikahan tersebut direncanakan untuk memperkuat persekutuan antara kedua kerajaan, konflik pecah ketika rakyat Sunda menolak pernikahan tersebut, merasa bahwa Dyah Pitalokan dijadikan hanya sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk Majapahit. Dalam hal itu pihak rakyat Sunda tidak menerima penghinaan itu akhirnya memutuskan untuk melawan walaupun jumlah pasukan tidak sebanyak pasukan Majapahit.
Perang pun tak terelakkan, dan pada pertempuran sengit di Bubat, ribuan prajurit tewas. Pada akhirnya, Dyah Pitaloka memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada menjadi penyebab perpecahan antara kedua kerajaan tersebut.
Fenomena atau peristiwa tersebut sangat erat kaitannya dengan teori dialektika yang dikembangkan oleh Hegel. Dimana teori ini berusaha mengamati bahwa timbulnya suatu fenomena atau peristiwa disebabkan oleh hubungan sebab akibat. kita dapat memahami bahwa Perang Bubat bukanlah kejadian spontan, sebagaimana yang diutarakan oleh Hegel bahwa dalam sejarah itu tidak ada sesuatu yang kebetulan. melainkan hasil dari dinamika kompleks dan interaksi faktor-faktor yang melibatkan kedua kerajaan tersebut. Pemahaman ini membantu kita merinci dan menggambarkan hubungan sebab dan akibat yang melandasi peristiwa bersejarah ini.
Adapun dampak dari Perang Bubat tak hanya terbatas pada kerugian jiwa dan penderitaan, namun juga menciptakan stigma sosial yang berlangsung hingga generasi berikutnya. Masyarakat mulai mengembangkan pandangan bahwa pernikahan antara suku Sunda dan Jawa dapat membawa konsekuensi negatif, seperti ketidakharmonisan atau bencana.
Stigma ini memengaruhi kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam hal pernikahan. Meskipun zaman telah berubah, dan budaya telah berkembang, jejak stigma ini masih terasa dalam tradisi dan norma-norma sosial. Beberapa keluarga mungkin tetap mempertahankan larangan menikahi antar-suku, meskipun alasan historisnya mungkin kabur seiring waktu.
Penting bagi masyarakat modern untuk memahami bahwa sejarah, meskipun berdampak besar, bukanlah panduan tunggal untuk membentuk pandangan tentang pernikahan dan hubungan antarsuku. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia terus berkembang, dan semakin banyak masyarakat yang menyadari pentingnya menghormati perbedaan dan merayakan keberagaman.
Perang Bubat mungkin telah menjadi cikal bakal stigma, namun tantangan untuk mengatasi dan melampaui prasangka sejarah adalah tugas bersama. Melalui pemahaman, dialog, dan menghargai keberagaman, masyarakat dapat bersatu untuk membangun masa depan yang lebih harmonis dan adil, melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang mungkin tidak lagi relevan dalam konteks zaman modern.(21/12/2023)
Yani Triyani
1205010197
Mahasiswi Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humainora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.