Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah lama menjadi kontroversi resmi disahkan DPR pada Selasa, 6 Desember 2022, menggantikan KUHP lama yang berlaku sejak 1918.
Revisi KUHP oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah berlangsung puluhan tahun. Diskusi tersebut memicu banyak perdebatan, bahkan memicu protes besar-besaran pada 2019, aksi massa terbesar di Indonesia sejak jatuhnya pemerintahan Suharto pada 1998.
Kali ini politisi DPR mempercepat pembahasan jangka pendek dan membatasi partisipasi publik di tengah maraknya kritik. KUHP akhirnya disahkan dengan dukungan sebagian besar fraksi partai politik di DPR—hanya dua partai kecil yang menentang Banyak ketentuan KUHP yang baru tidak jelas dan terlalu luas – yang disebut "pasal karet" – memberdayakan negara dengan mengorbankan warga negaranya.
Pasal yang paling banyak dikritik adalah ketentuan yang memaksakan nilai moral konservatif pada seks dan ketentuan yang membatasi kebebasan berekspresi.
Masa percobaan untuk hukuman mati
Salah satu perubahan positif KUHP yang baru adalah ketentuan tentang penangguhan hukuman mati. Jika terpidana mati menunjukkan perilaku yang baik selama periode ini dan menunjukkan penyesalan, hukuman mereka dapat diubah dari kematian menjadi penjara.
Hal ini menunjukkan bahwa negara mulai menjauh dari kebijakan "tanpa ampun" yang dianut oleh pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Seandainya aturan itu diberlakukan sejak lama, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan – terpidana perdagangan narkoba dari Australia – bisa lolos.
Ketentuan ini tampaknya menjadi satu-satunya kemajuan positif yang signifikan dalam KUHP. Selebihnya, begitu banyak perubahan ketentuan yang justru menjadi sangat regresif, hingga menghilangkan atau membatasi kebebasan sipil.
Dua undang-undang telah menarik perhatian internasional: ketentuan yang mengkriminalisasi perzinahan – hukuman maksimal satu tahun penjara – dan ketentuan yang memenjarakan pasangan yang belum menikah atau bukan suami istri jika mereka hidup bersama.
Ada kekhawatiran turis asing – pasangan yang belum menikah – berlibur di Bali juga bisa menjadi sasaran penindakan. Padahal, kedua pasal tersebut bersalah atas pengaduan. Artinya, tidak seorang pun dapat dituntut tanpa laporan ke polisi dari pihak yang telah ditentukan sebelumnya – pasangan, orang tua atau anak.
Dengan demikian, ketentuan ini tidak berlaku bagi pasangan turis asing yang belum menikah. Meskipun demikian, pasal ini dimungkinkan dapat berlaku jika salah satu pasangan adalah warga negara Indonesia dan penggugat adalah keluarganya.
Namun, kekhawatiran lebih banyak muncul mengenai dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, khususnya pasangan muda.
Ketentuan pasal ini tampaknya memungkinkan keluarga untuk "memanfaatkan" polisi dan pengadilan untuk memaksakan pandangan mereka tentang seks dan pilihan pasangan.
Banyak juga yang khawatir KUHP digunakan oleh beberapa pihak untuk mengkriminalkan orang-orang LGBT yang tidak bisa menikah di bawah hukum Indonesia. Homoseksualitas secara resmi tidak ilegal di Indonesia (kecuali di provinsi Aceh), tetapi para penentang KUHP percaya bahwa hal itu secara implisit dapat mengkriminalisasi kaum gay dan lesbian.
Komunitas LGBT kemungkinan besar akan menjadi sasaran kriminalisasi aturan yang melarang "perbuatan asusila". Definisi tindakan ini masih kabur, sehingga dapat menimbulkan reaksi publik jika sesama jenis menunjukkan gestur emosional.
KUHP yang baru juga menawarkan hukuman penjara bagi mereka yang menyebarkan informasi tentang kontrasepsi – bahkan mereka yang menjelaskan cara mendapatkannya.
Memang ada pengecualian terhadap kegiatan penyuluhan pemerintah tentang keluarga berencana (KB), namun ketentuan ini jelas membatasi hak dan kebebasan perempuan untuk memilih.
Ada juga pasal yang menerapkan hukuman penjara 4 tahun bagi perempuan yang melakukan aborsi. Hukuman bisa lebih berat bagi mereka yang melakukan aborsi (walaupun ada pengecualian untuk korban perkosaan dan darurat medis).
Fikri Nur Ramdani
Tidak ada komentar
Posting Komentar