Toleransi itu aksi bukan teori
Sekarang ini banyak sekali orang yang berkoar koar teori soal toleransi, mengajak toleran tetapi dirinya sendiri tidak menggambarkan apa yang dikatakan tersebut. Kemungkinan hal tersebut adalah karena termakan oleh podcast, influencer, berita atau apapun yang ditonton dan sukai terkait toleransi, dan ingin unjuk gigi aja agar kelihatan pintar dan toleran. Berbicara mengenai kerukunan umat beragama, maka tidak terlepas dari yang namanya toleransi. Toleransi merupakan hal paling mendasar dalam kehidupan beragama antar masyarakat. Toleransi di Indonesia pada dasarnya sudah berjalan dengan baik. Terlebih pasca reformasi, keberadaan etnis tionghoa juga sudah mendapatkan pengakuan dari negara. hal ini membuat indonesia semakin ramai dengan pluralismenya. Akan tetapi dalam beberapa tahun belakangan ini, toleransi di Indonesia mendapatkan tantangan yang cukup berat. Akibat dari ulah segelintir orang, kemudian terjadilah polarisasi di kalangan masyarakat yang sangat mengkhawatirkan. terlebih berita-berita HOAX di internet semakin memperburuk masalah.
Bertemanlah dengan individu, kelompok, etnis, agama, atau suku apapun itu. Saling menghormati dan memahami serta jangan mudah terpancing pada satu-dua berita di internet yang kemudian mengubah persepsi kalian tentang suku atau atau kelompok tersebut. Agar kita tetap bisa menjaga terus persatuan Indonesia.
Kalau yang dimaksud toleransi adalah kebasan mendirikan rumah ibadah di mana saja, atau bebas membakar kitab agama lain yang tidak sejalan dengan agama seseorang, atau mengeluarkan ujaran kebencian terhadap suatu agama, maka secara akal sehat sangat baik untuk dilarang. Kebebasan mendirikan rumah ibadah tanpa dukungan masyarakat setempat adalah bentuk tirani minoritas, membakar kitab agama lain dapat menimbulkan perang antar agama dan membiarkan seseorang mengeluarkan ujaran kebencian atas apa saja bukanlah ciri masyarakat yang beradab. Ada perbedaan serius antara tolerasi dengan liberalisasi. Mohon dipahami lebih baik. Kalau standar toleransi yang kita pakai adalah standar negara-negara "berperadaban tinggi" dan "sangat makmur" seperti Kanada, Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Utara, Jepang, dan lain-lain, Tetapi tiap negara itu tidak sama derajat peradaban dan kemakmurannya. Republik Indonesia tidak bisa disejajarkan dengan negara- negara First World seperti diatas.Toleransi kita sebenarnya cukup lumayan untuk ukuran negara berkembang yang sangat majemuk dengan tingkat kesenjangan sosial masih tinggi. Toleransi kita ini masih taraf "peaceful co-existence". Cuma sebatas tidak saling ganggu, tetapi tidak merasa memiliki atau bersaudara satu sama lainnya.
Saat ada krisis sosial, masyarakat yang baru sampai level ini amat mudah terkena konflik antar golongan karena pada dasarnya kita masih menganggap yang berbeda sebagai "musuh yang jangan diperangi". Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan variabelnya bukan hanya agama dan ras, namun sesuatu yang sangat besar dan berlangsung sangat lama. Secara psikologis, manusia sudah atau memang seperti itu. Sejak zaman prasejarah, manusia hidup dalam kelompok. Ide tentang baik-buruk pun sudah muncul pada saat itu. Segala yang buruk diatribusikan kepada kelompok lain. Konsep 'kami' dan 'mereka' sangat kental. Hal-hal ini mengakar di benak manusia sampai saat ini. Hal ini juga yang memunculkan adanya xenofobia, sukuisme, chauvinisme, rasisme, dan lain lain.
Hindun Suaidah Dini Nasution
Tidak ada komentar
Posting Komentar