Kekerasan seksual yang tidak mengenal waktu, tempat dan gender telah menjadi hal yang menakutkan bagi kita semua. Tidak jarang mimpi buruk itu datang dari orang terdekat.
Hukum yang menjadi kekuatan perlindungan seringkali tidak berjalan lurus. Banyak korban memilih diam karena takut dan tidak tahu harus melapor kemana. Pelaku berkeliaran bebas, mencari korban selanjutnya.
Saat ini kekerasan seksual di Indonesia sudah berada dalam tingkat darurat. Lonjakan data dari waktu ke waktu semakin meningkat. Apa yang harus kita perbuat?
Baru-baru ini kita sering mendengar kekerasan seksual terjadi di dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Fungsi pendidikan yang seharusnya membangun ternyata beralih fungsi menjadi merusak.
Merujuk pada survei yang dilakukan Kemendikbud pada 2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir terhadap stigma negatif. Selain itu, data Komisi Nasional Perempuan menunjukkan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi, berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020.
Jumlah laporan kasus kekerasan seksual kian meningkat selama pandemi Covid-19. Hal ini berdasarkan laporan yang Komnas Perempuan terima sejak tahun 2020 lalu.
Dilansir dari situs Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) pada laporan yang diterima oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap. perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus.
Selama pandemi kasus kekerasan seksual terus mengalami peningkatan. Banyak faktor yang mempengaruhinya.
Salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual adalah mudahnya akses pornografi di dunia maya. Konten-konten tidak senonoh bertebaran di dunia maya dan seringkali viral. Semakin banyak view semakin banyak orang yang tahu dengan konten tersebut. Dengan itu akan menjadi contoh dan mendorong untuk menjadi seorang pelaku kekerasan seksual.
Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh orang dewasa. Anak-anak di bawah umur pun menjadi target sasaran pelaku. Mirisnya pelaku adalah orang terdekat baik itu kerabat bahkan keluarga. Rumah yang harusnya menjadi tempat ternyaman berubah menjadi neraka. Minimnya pendidikan tentang seksual dan kesehatan reproduksi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak.
Dampak dari kekerasan seksual tidak bisa dianggap sepele. Dampak psikologis yang menyebabkan traumatik seumur hidup, bahkan sampai yang mengalami depresi hingga berujung mengakhiri hidup. Dampak fisik yang menyebabkan luka organ dalam. Selain itu, dampak sosial yakni sering dikucilkan dari lingkungannya, padahal seharusnya korban diberikan dukungan bukan malah dipojokan karena dia adalah korban bukan pelaku.
Agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi berulangkali dan untuk kesekian kali. bisa dengan memberikan pendidikan moral dan pendidikan seksual di sekolah dengan efektif, hukuman bagi pelaku yang membuatnya jera, mengawasi anak dalam bermain gadget, dan perlu adanya budaya melapor.
Kita belum terlambat untuk melakukan perubahan. Pencegahan harus dilakukan, pendidikan moral dan pendidikan seksual yang perlu ditanamkan sejak dini. Dengan ini semoga bisa menjadi perubahan lebih baik bagi generasi yang akan datang.
Ike Srilopita Nurdianti / INSIGHT
Email : ikesrilopitanurdianti@gmail.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar