Kita mengenal serta meyakini bahwa pelopor emanisipasi perempuan di Indonesia adalah Ibu Kartini. Namun diberbagai wilayah Indonesia pastilah memiliki para pejuang perempuannya dengan berbagai cerita yang pastinya menginspiratif. Misalnya di Sumatera Barat ada Rahmah el-Yunusiah, Keumalahayati di Aceh, Dewi Sartika di Jawa Barat, Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara. Dan Bumi Lancang Kuning tidak luput dari tokoh perempuan yang peduli terhadap Pendidikan perempuan. Beliau adalah sosok yang mengawali tonggak berdirinya sekolah keterampilan setingkat volkscool (sekolah rakyat) bagi perempuan Riau. Yaitu Tengku Agung Syarifah Latifah.
Syarifah Latifah merupakan keturunan dari keluarga istana Langkat dan Siak. Kerajaan Langkat ialah salah satu kerajaan di Sumatera Timur yang kaya akan perkebunan tembakau dan minyaknya. Ayahnya, Tengku Pangeran merupakan Wakil Sultan Langkat yang memiliki pertalian perkawinan dengan Tengku Aisiah, adik dari Sultan Musa Langkat.
Sebagai ank yang lahir dari keluarga bangsawan Tengku kecil dapat mengenyam pendidikan tradisional dilingkungan kerajaan. Pada saat itu Pendidikan modern belum ada di Tanjungpura. Saat tengku memasuki usia baliq barulah Pendidikan modern itu ada namun tengku sudah tidak diizinkan melanjutkan Pendidikan. Karena pada masa itu peremuan Melayu yang telah aqil baliq akan mengalami proses adat pingitan (berkurung) atau dalam Bahasa siak biasa disebut menengkam. Ini merupakan adat kebiasaan yang mengharuskan anak perawan untuk tinggal dirumah sampai mendapatkan jodoh, termasuk larangan pergi bersekolah.
Pada akhirnya beliau menikah dengan Sultan Syarif Kasim II pada tanggal 27 Oktober 1912 di Langkat Sumatra Timur. Yang merupakan Sultan terakhir dari Kerajaan Siak. Lalu, ia pun diangkat sebagai permaisuri dan mendapat anugerah gelar Tengku Agung pada 3 Maret 1915. Bertepatan dengan penobatan Sultan Syarif Kasim II sebagai Sultan Siak kedua belas.
Pada tahun 1920-an belum ada satupun sekolahperempuan di Riau. Lalu Tengku Agung mengutarakan niatnya untuk membangung sekolah untuk Pendidikan bagi kaum perempuan. Sultanah Latifah School demikin nama sekolah yang Tengku Agung dirikan. Lebih lanjut, nama Sultanah Latifah School mengutip dari buku Prosopografi Tokoh Perempuan Pendidik di Riau(1927-2016) merujuk pada nama permaisuri Tengku Agung, yaitu Syarifah Latifah. Alasan penggunaan istilah "school" pada Latifah School merupakan hal yang umum digunakan kala itu untuk nama-nama sekolah yang pelaksanaannya mengikuti sistem sekolah Barat dan bukan merupakan pendidikan tradisional.
Perjuangan Tengku Agung untuk memajukan kaum perempuan dimulai dengan membuka sekolah keterampilan. Tengku Agung memanfaatkan situasi kala itu yang sangat kuat melarang anak perempuan untuk memasuki sekolah ketika sudah baligh.
Dalam masa pingitan tersebut, biasanya para gadis akan dipersiapkan untuk menjadi istri yang terampil. Maka, selain untuk mendobrak budaya yang timpang. Sekolah tersebut juga bagian dari perhatiannya untuk melestarikan keterampilan tenun Siak yang telah menjadi tradisi sejak dulu.
Kemudian, ia melanjutkan kiprahnya untuk mengembangkan Sultanah Latifah School melalui kerjasama dengan Rahmah el Yunusiyah, perempuan yang terlebih dulu telah mendirikan madrasah pertama di Indonesia bagi perempuan di Tanah Minang. Yakni Diniyah Putri Padang Panjang yang melakukan penggabungan atas pendidikan keterampilan dengan pendidikan agama. Akhirnya, atas saran dari Sultan Syarif, beliau mendirikan sekolah agama khusus untuk perempuan yakni Madrasah an-Nisa.
Beberapa pekan setelah Madrasah an-Nisa ia resmikan, Syarifah Latifah meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 3 Maret 1929.
Upaya yang Tengku Agung lakukan di atas tentu sarat akan nilai kesetaraan dan kesalingan. Dukungan penuh yang Sultan Syarif Kasim II berikan sebagai pemimpin memiliki peranan yang cukup besar dalam pemerataan pendidikan terhadap kaumnya, tanpa memandang jenis kelamin.
Seperti yang tercermin pada hikayat kebudayaan Melayu bahwa perempuan yang berilmu, dihargai dan dijaga. Kebaikan yang ada dalam diri perempuan memiliki pengaruh yang lebih luas, sebagaimana orang-orang tua Melayu menyatakan "elok langit karena berbulan, elok bumi berkayu kayan, elok laut karena berikan, elok bangsa karena perempuan".
Helmi Syarah
UIN Sunan Gunung Djati
Syarifah Latifah merupakan keturunan dari keluarga istana Langkat dan Siak. Kerajaan Langkat ialah salah satu kerajaan di Sumatera Timur yang kaya akan perkebunan tembakau dan minyaknya. Ayahnya, Tengku Pangeran merupakan Wakil Sultan Langkat yang memiliki pertalian perkawinan dengan Tengku Aisiah, adik dari Sultan Musa Langkat.
Sebagai ank yang lahir dari keluarga bangsawan Tengku kecil dapat mengenyam pendidikan tradisional dilingkungan kerajaan. Pada saat itu Pendidikan modern belum ada di Tanjungpura. Saat tengku memasuki usia baliq barulah Pendidikan modern itu ada namun tengku sudah tidak diizinkan melanjutkan Pendidikan. Karena pada masa itu peremuan Melayu yang telah aqil baliq akan mengalami proses adat pingitan (berkurung) atau dalam Bahasa siak biasa disebut menengkam. Ini merupakan adat kebiasaan yang mengharuskan anak perawan untuk tinggal dirumah sampai mendapatkan jodoh, termasuk larangan pergi bersekolah.
Pada akhirnya beliau menikah dengan Sultan Syarif Kasim II pada tanggal 27 Oktober 1912 di Langkat Sumatra Timur. Yang merupakan Sultan terakhir dari Kerajaan Siak. Lalu, ia pun diangkat sebagai permaisuri dan mendapat anugerah gelar Tengku Agung pada 3 Maret 1915. Bertepatan dengan penobatan Sultan Syarif Kasim II sebagai Sultan Siak kedua belas.
Pada tahun 1920-an belum ada satupun sekolahperempuan di Riau. Lalu Tengku Agung mengutarakan niatnya untuk membangung sekolah untuk Pendidikan bagi kaum perempuan. Sultanah Latifah School demikin nama sekolah yang Tengku Agung dirikan. Lebih lanjut, nama Sultanah Latifah School mengutip dari buku Prosopografi Tokoh Perempuan Pendidik di Riau(1927-2016) merujuk pada nama permaisuri Tengku Agung, yaitu Syarifah Latifah. Alasan penggunaan istilah "school" pada Latifah School merupakan hal yang umum digunakan kala itu untuk nama-nama sekolah yang pelaksanaannya mengikuti sistem sekolah Barat dan bukan merupakan pendidikan tradisional.
Perjuangan Tengku Agung untuk memajukan kaum perempuan dimulai dengan membuka sekolah keterampilan. Tengku Agung memanfaatkan situasi kala itu yang sangat kuat melarang anak perempuan untuk memasuki sekolah ketika sudah baligh.
Dalam masa pingitan tersebut, biasanya para gadis akan dipersiapkan untuk menjadi istri yang terampil. Maka, selain untuk mendobrak budaya yang timpang. Sekolah tersebut juga bagian dari perhatiannya untuk melestarikan keterampilan tenun Siak yang telah menjadi tradisi sejak dulu.
Kemudian, ia melanjutkan kiprahnya untuk mengembangkan Sultanah Latifah School melalui kerjasama dengan Rahmah el Yunusiyah, perempuan yang terlebih dulu telah mendirikan madrasah pertama di Indonesia bagi perempuan di Tanah Minang. Yakni Diniyah Putri Padang Panjang yang melakukan penggabungan atas pendidikan keterampilan dengan pendidikan agama. Akhirnya, atas saran dari Sultan Syarif, beliau mendirikan sekolah agama khusus untuk perempuan yakni Madrasah an-Nisa.
Beberapa pekan setelah Madrasah an-Nisa ia resmikan, Syarifah Latifah meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 3 Maret 1929.
Upaya yang Tengku Agung lakukan di atas tentu sarat akan nilai kesetaraan dan kesalingan. Dukungan penuh yang Sultan Syarif Kasim II berikan sebagai pemimpin memiliki peranan yang cukup besar dalam pemerataan pendidikan terhadap kaumnya, tanpa memandang jenis kelamin.
Seperti yang tercermin pada hikayat kebudayaan Melayu bahwa perempuan yang berilmu, dihargai dan dijaga. Kebaikan yang ada dalam diri perempuan memiliki pengaruh yang lebih luas, sebagaimana orang-orang tua Melayu menyatakan "elok langit karena berbulan, elok bumi berkayu kayan, elok laut karena berikan, elok bangsa karena perempuan".
Helmi Syarah
UIN Sunan Gunung Djati
Tidak ada komentar
Posting Komentar