Perkembangan dunia digital yang sangat pesat menyebabkan 'ide digitalisasi' menyeruak di segala lini kehidupan. Begitupun dalam urusan pemilu yang kini telah memasuki tahapan. Artinya, tinggal menghitung bulan saja untuk kemudian kita kembali harus menentukan pilihan. Situasi pandemi yang baru saja terjadi juga memberikan dorongan yang besar, betapa 'dunia digital' jadi solusi untuk banyak permasalahan. Dalam dunia dagang misalnya, mereka yang memiliki toko online cenderung bisa menjaga omset ketimbang yang masih berjualan secara konvensional. Salah satu sebabnya karena pedagang online tidak mesti terkendala larangan tatap muka yang diberlakukan pemerintah di masa pandemi. Tapi apakah yang serba 'digital-digital' itu juga cocok untuk Pemilu di negara kita?
Kementerian Kominfo sendiri baru-baru ini mengusulkan penerapan E-Voting atau pemilihan Elektronik pada Pemilu 2024. Menurut Kominfo, E-Voting memiliki banyak keuntungan. Dua diantaranya adalah soal transparansi dan kecepatan rekapitulasi.
Dorongan penggunaan E-Voting juga terjadi di Jepang pada Pemilu tahun 2021. Utamanya dari para pemilih di luar negeri yang memang memiliki keterbatasan jarak. TPS di luar negeri memang disediakan Jepang seperti halnya di Indonesia, tapi tentu saja tidak sebanyak di negeri sendiri yang bahkan hadir sampai tingkat RT. Ini menjadi catatan yang menarik sementara sejauh ini kita mengenal Jepang sebagai salah satu negara yang paling 'maju' urusan tekhnologi digitalnya. Faktanya, Jepang juga masih mewajibkan para pemilihnya antre di TPS untuk melakukan pemilihan manual seperti di Indonesia.
Negara maju lain, Jerman, malahan harus kembali ke cara manual setelah sempat sukses menggunakan tekhnologi digital pada tahun 1998 hingga 2005. Di tengah arus kepuasan publik dengan mekanisme digital itu, seorang pakar politik, Joachim Wiesner mengajukan keberatan dengan alasan pemilihan digital tersebut inkonstitusional. Pada tahun 2009, pengadilan Jerman memberikan putusan yang menguatkan, bahwa e-voting tidak sesuai konstitusi. Hasil ini memaksa Jerman kembali ke pemilihan manual. Lho…
Kotak Suara
Sebelum jauh membahas soal digitalisasi mari kita kembali menelaah inti dari Pemilihan umum. Memang tepat rasanya jika Komisi Pemilihan Umum memilih kotak suara sebagai logo pemilihan umum. Sebab inti dari pemilihan umum adalah kotak itu sendiri. Jaminan keamanan yang paling prinsip dan pertama adalah ketika seorang pemilih memasukkan hak pilihnya (dalam bentuk surat suara) ke dalam kotak dengan tangannya sendiri. Kotak itu terkunci, hingga dibuka bersama-sama menjelang penghitungan suara. Tidak ada satu orangpun yang bisa mengurangi, menambah atau mengganti surat suara di dalam kotak yang terkunci dan 'diawasi' oleh Bawaslu, para saksi dan masyarakat.
Jika ingin dirunut lebih detail, kotak ini telah dibuktikan kosong sebelum digunakan. Juga kembali dibuktikan kosong setelah seluruh surat suara di keluarkan. Itupun masih ditambah pencocokan antara jumlah surat suara yang digunakan (di dalam kotak) dengan jumlah daftar hadir di TPS. Sampai titik ini hampir tidak dimungkinkan manipulasi suara sama sekali. Jadi tidak berlebihan jika kita menganggap bahwa 'kotak suara' telah menjadi simbol kepercayaan publik terhadap suatu Pemilihan Umum.
Karena kotak yang aman itulah, langkah selanjutnya dalam bentuk penghitungan suara juga bisa dipertanggungjawabkan. Lembar demi lembar dibacakan dengan disaksikan bersama-sama dalam plano yang besar. Pengawas atau saksi, selain mencatat sendiri, juga akan mendapatkan salinan hasil dari jajaran KPU di TPS. Lalu, hasil dari tiap TPS yang sangat transparan itu dapat direkap oleh seluruh elemen yang berkepentingan. Mulai dari pemantau pemilu, saksi dari partai politik, Bawaslu hingga masyarakat biasa.
Sederhananya, negara telah membuka akses kepada seluruh masyarakat untuk melihat semuat TPS yang ada secara transparan. Bahkan negara telah memberi ruang untuk melakukan rekapitulasi bersama-sama, mulai dari TPS, Kecamatan, Kabupaten hingga tingkat Nasional. Oleh karena itu, pihak-pihak yang menuduhkan terjadi kecurangan dalam proses pemungutan suara harus bisa menjawab pertanyaan, yang pertama, Bagaimana cara merubah suara yang ada di dalam kotak pemungutan yang bisa bersama-sama disaksikan dengan mata telanjang selama proses pencoblosan atau yang kedua, Bagaimana cara merubah hasil rekapitulasi yang dihitung dan dicatat bersama-sama dalam setiap tingkatan.
Sampai di titik ini, kita bisa meyakini bahwa sistem pemngutan suara manual yang selama ini diterapkan, adalah sistem pemungutan yang sangat sulit untuk dicurangi.
Pekerjaan Rumah E-Voting
Dari semua yang telah dibahas sebelumnya, mengganti sistem pemungutan manual dengan E-Voting tidak bisa dilakukan dengan sembrono apalagi hanya untuk kebutuhan trend semata. E-Voting masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Urusan pemilu bukan hanya urusan cepat-cepatan atau mudah-mudahan saja, dua hal yang bisa diselesaikan oleh tekhnologi digital. Yang harus menjadi perhatian lebih adalah: urusan pemilu juga menyangkut urusan 'konstitusi'.
Belajar dari Jerman, Joachim Wiesner memenangkan gugatan karena tekhnologi E-Voting tidak mampu menjelaskan transparansi data yang diinginkan masayarakat. Masalah pertama, setelah masyarakat memberikan pilihan, mereka tidak akan pernah tahu surat suara yang 'berbentuk data' itu masuk ke 'kotak' yang mana, dan yang lebih penting, bagaimana cara mereka mengawasi kotak tersebut?.
Sedangkan masalah yang kedua, jika terjadi kecurigaan adanya kesalahan data, bagaimana cara pihak penyelenggara membuktikannya? Sementara selama ini dalam pemilihan yang telah berjalan surat suara yang dikunci di dalam kotak dimungkinkan untuk dibuka dan menjadi data pembanding.
Ini baru dua masalah paling prinsip dan dasar yang mesti dipecahkan. Setelah itu masih ada lagi pekerjaan rumah untuk E-Voting seperti halnya masalah keamanan data dari serangan hacker hingga biaya software penangkal cybercrame yang bisa sangat membengkak seperti ujicoba yang sudah dilakukan di Australia.
Sampai banyak pe-er itu terpecahkan, tampaknya pemilihan dengan cara manual masih akan tetap menjadi primadona. Ya, meski tetap saja ada masyarakat usil yang selalu bilang curang, curang dan curang…
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar