Dalam budaya Indonesia, terdapat tradisi yang menarik perhatian banyak orang yaitu larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa. Pernyataan ini sering kali menciptakan rasa ingin tahu, mengapa masyarakat masih memegang erat tradisi ini? Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi akar sejarah dan faktor budaya yang melatarbelakangi fenomena ini.
Tradisi larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa dapat ditelusuri kembali ke peristiwa tragis pada abad ke-14, yakni Perang Bubat. Konflik antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, yang diwarnai penolakan pernikahan Putri Dyah Pitaloka dari Sunda dengan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, menciptakan celah emosional dan dendam yang masih terasa hingga kini.
Pada abad ke-14, tepatnya tahun 1357 M, Indonesia menjadi saksi dari peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai Perang Bubat. Perang ini tidak hanya menandai konflik militer antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, tetapi juga menjadi cikal bakal terbentuknya stigma terkait larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa.
Perang Bubat bermula dari hubungan asmara antara Putri Dyah Pitaloka dari Sunda dengan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Meskipun pernikahan tersebut direncanakan untuk memperkuat persekutuan antara kedua kerajaan, konflik pecah ketika rakyat Sunda menolak pernikahan tersebut, merasa bahwa Dyah Pitalokan dijadikan hanya sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk Majapahit. Dalam hal itu pihak rakyat Sunda tidak menerima penghinaan itu akhirnya memutuskan untuk melawan walaupun jumlah pasukan tidak sebanyak pasukan Majapahit.
Perang pun tak terelakkan, dan pada pertempuran sengit di Bubat, ribuan prajurit tewas. Pada akhirnya, Dyah Pitaloka memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada menjadi penyebab perpecahan antara kedua kerajaan tersebut.
Fenomena atau peristiwa tersebut sangat erat kaitannya dengan teori dialektika yang dikembangkan oleh Hegel. Dimana teori ini berusaha mengamati bahwa timbulnya suatu fenomena atau peristiwa disebabkan oleh hubungan sebab akibat. kita dapat memahami bahwa Perang Bubat bukanlah kejadian spontan, sebagaimana yang diutarakan oleh Hegel bahwa dalam sejarah itu tidak ada sesuatu yang kebetulan. melainkan hasil dari dinamika kompleks dan interaksi faktor-faktor yang melibatkan kedua kerajaan tersebut. Pemahaman ini membantu kita merinci dan menggambarkan hubungan sebab dan akibat yang melandasi peristiwa bersejarah ini.
Adapun dampak dari Perang Bubat tak hanya terbatas pada kerugian jiwa dan penderitaan, namun juga menciptakan stigma sosial yang berlangsung hingga generasi berikutnya. Masyarakat mulai mengembangkan pandangan bahwa pernikahan antara suku Sunda dan Jawa dapat membawa konsekuensi negatif, seperti ketidakharmonisan atau bencana.
Stigma ini memengaruhi kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam hal pernikahan. Meskipun zaman telah berubah, dan budaya telah berkembang, jejak stigma ini masih terasa dalam tradisi dan norma-norma sosial. Beberapa keluarga mungkin tetap mempertahankan larangan menikahi antar-suku, meskipun alasan historisnya mungkin kabur seiring waktu.
Penting bagi masyarakat modern untuk memahami bahwa sejarah, meskipun berdampak besar, bukanlah panduan tunggal untuk membentuk pandangan tentang pernikahan dan hubungan antarsuku. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia terus berkembang, dan semakin banyak masyarakat yang menyadari pentingnya menghormati perbedaan dan merayakan keberagaman.
Perang Bubat mungkin telah menjadi cikal bakal stigma, namun tantangan untuk mengatasi dan melampaui prasangka sejarah adalah tugas bersama. Melalui pemahaman, dialog, dan menghargai keberagaman, masyarakat dapat bersatu untuk membangun masa depan yang lebih harmonis dan adil, melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang mungkin tidak lagi relevan dalam konteks zaman modern.(21/12/2023)
Yani Triyani
1205010197
Mahasiswi Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humainora, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Tidak ada komentar
Posting Komentar